Istilah-istilah Tasawuf (Pengertian dan Tingkatan Al-Maqamat & Al Ahwal)

Istilah-istilah Tasawuf

1. Al-Maqamat

a. Pengertian
Definisi Al maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah tempat berdiri, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.

Menurut Al Qusyairi maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.

b. Tingkatan Al-Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.
1. Taubah
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.

Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma'rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
Istilah-istilah Tasawuf
“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Tingkatan Al-Maqamat Taubah
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).

2). Wara'
Kata wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara' adalah :

  • Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan terkait dengan hati (kesesatan, bid'ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)
  • Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh pada keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun berupa bagian dari kehalalan.


3) Zuhud
Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhud adalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. ʹͻͲ/ͻͲ͵ M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunya (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana' sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah.

Sedangkan menurut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :

  1. Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
  2. Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
  3. Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.


“… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77)

“…dan mereka Hanshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)

4). Al Shabr
Al Sabr secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf Al shabr berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah.

Makna Al Shabr menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya. Ibn 'Ata'illah membagi sabar menjadi ͵ macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan Hangan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.

Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha manusia sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Sabar
a) Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau kesusahan.
Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
b) Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melakukan maksiat.
c) Sabar dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas perintah Allah, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri. )nilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.

5). Syukur
Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.

Syukur dalam pandangan Ibn 'Ata'illah terbagi menjadi ͵ macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.

Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)

6). Tawakkal
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah.

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3)

“ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)

7). Ridha
Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.

Imam Ghazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.

Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119)
Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridha Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan. Sikap ridha adalah cerminan kepaTuhan hamba kepada Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.
Baca juga: Asal-Usul Tasawuf dan Sejarah Perkembangan Tasawuf (Tokoh-Tokoh Tasawuf)👈

2. Al Ahwal

a. Pengertian Al Ahwal
Al ahwal bentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (menthal states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. )a akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.

b. Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hal yaitu: Al Muraqabah (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), Al Qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), Al Mahabbah (rasa cinta kepada Tuhan), Khauf wa Raja’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq (rasa rindu), Al Uns (rasa berteman), Al Thuma’ninah (rasa tenteram), Al Musyahadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al Yaqîn (rasa yakin).

1). Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.

Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.

2). Mahabbah
Mahabbah mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah Dzterkoyaknya tabirdz dan (tersingkapnya rahasia) Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi). Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.

3). Khauf
Al Qusyairi mengemukakan bahwa khauf terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah
Pengertian dan Tingkatan Al Ahwal - istilah tasawuf
“… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175)

Seorang yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf akan berfikiran jauh ke depan.

4). Raja’
Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al Qusyairi membedakan antara harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja' bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seseorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk mendapatkan yang diangan-angankannya.

Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.

5). Syauq
Rindu (syauq) merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.

Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. )a akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.

6). Uns
Perasaan suka cita (uns) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.

Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.

7). Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT,
27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama›ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30).

Ibnu Qayim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.

8). Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran Al Haqq dengan tanpa dibayangkan. Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya keTuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehinggga malampun laksana siang yang nikmat.

9). Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara 'ilmu al yaqin, ’ain al yaqin dan haqq al yaqin. 'Ilm al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. sedangkan 'Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya. ‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. 'Ain al Yaqin bagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqin bagi orang-orang yang ma'rifah.
Jadi, Al Yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Istilah-istilah Tasawuf (Pengertian dan Tingkatan Al-Maqamat & Al Ahwal)"

Posting Komentar