Perbandingan Pemikiran Aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah

Perbandingan Pemikiran Aliran Kalam  Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah
Perbandingan Pemikiran Aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah

1. Akal dan Wahyu

a. Menurut aliran Mu’tazilah
Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajibankewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu'tazilah dapat diketahui melalui akal.

b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Imam Asy'ari menjelaskan bahwa, wahyulah yang menentukan baik dan buruk, menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang menetapkannya.

c. Aliran Maturidiyah
Antara Abu Mansur dengan al Bazdawi berbeda. Abu Mansur menjelaskan, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyulah yang menetapkannya. Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan al Bazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.

2. Iman dan Kufur

a. Menurut Aliran Khawarij
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran Khawarij memandang semua yang menerima tahkim adalah kaϐir. Bagi aliran Khawarij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kaϐir.

b. Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma'rifah sama dengan ikrar dan tashdiq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang kufr adalah mengingkari. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa.

c. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah mengemukakan bahwa, iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Ini berarti bahwa unsur iman bagi Mu'tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki, yaitu: pengakuan atau ikrar dan tashdiq. Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak. Manusia dikatakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.

d. Menurut aliran Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah membedakan antara iman dan Islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan tashdiq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari'at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar. Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan iman atau Islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena iman dan Islam tidak dapat dipisahkan.

Tentang iman, Imam Asy'ari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk melakukan pelanggaran.

3. Perbuatan Manusia

a. Menurut Aliran Jabariyah
Aliran jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dari mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa HfatalismI. Aliran jabariyah memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah majbur "terpaksa". Manusia digerakkan Allah, sebagaimana benda-benda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh Tuhan.

b. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah memandang bahwa manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma'bad ibn al Juwaini dan Ghailan al Dimasyqi. Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi dapat memilih.

Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaan dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif. Jadi nampaknya bahwa manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.

c. Menurut Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy'ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy'ari memakai istilah kasb "perolehan". Menurut al Asy'ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatanperbuatan manusia oleh Asy'ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan gerakan reϐleks dan perbuatan-perbuatan manusia.

d. Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan "hikmah". Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.


4. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

a. Menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu'tazilah memandang bahwa Allah itu tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu'tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Washil bin 'Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud.

Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.

b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliaran Asy'ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan kaum Asy'ariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam
kekuasaanNya terjadi apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka hal ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah lah yang menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perbandingan Pemikiran Aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah"

Posting Komentar