Teladan / Pengalaman Sufi Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat
1. Pengalaman Sufi Nabi Muhamaad Saw.
Dalam sejarah Islam, Muhammad saw. dikenal sebagai pioner yang memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain. Kaum zuhad atau kaum sufi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani aktivitas sufistik mereka selalu merujuk pada Muhammad saw sebagai mursyid tertinggi dalam Islam. Bahkan, kaum sufi sendiri menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia sempurna (al-insan al-kamil) sekaligus mursyid tertinggi yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan sufistik mereka menuju kepada Yang Haq (Allah). Itulah sebabnya, dalam tulisan ini penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman sufistik Muhammad saw. dengan beragam macamnya itu dengan pendekatan normative-historis.Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam dirinya.
- Kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma'il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya.
- Sifat dan akhlaknya yang terpuji; seperti sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan jujur.
- Tanda-tanda kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah SWT kepadanya, seperti benda-benda padat bisa berbicara kepadanya, dapat menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi adalah memperoleh wahyu serta menjalani mi'raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.
- Doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
a. Pengalaman Khalwat di Gua Hira
Mendekati usia 40 tahun, mulailah tumbuh pada diri Muhammad saw kecenderungan untuk melakukan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad saw menjelang dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni merasakan pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya.
Dari aktivitas uzlah ini, dapat diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melakukan amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang dapat sampai pada mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat keagungan Allah, nampaknya dapat diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi motivasi kuat dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama manusia dengan hidup secara terasing. Karena khalwat yang dilakukan Muhammad saw bersifat temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.
b. Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’ya as sadiqah)
Mimpi yang benar juga dipandang oleh Nabi Muhammad saw sebagai suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada umumnya. Bahkan, nabi Muhammad saw sendiri memandang mimpi yang benar merupakan bagian dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT. kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian yang telah dicabut setelah Nabi Muhammad saw.
Pengalaman sufistik ini sama halnya dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika ia mendapat perintah dari Allah SWT. untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman sufistik ini merupakan fenomena umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar hatinya tenang sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bercerita, “Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan wahai Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.
c. Masalah wahyu yang turun kepada Nabi Saw.
Nabi Muhammad saw, dalam konteks ini, telah mengalami pengalaman pewahyuan dari Allah SWT. melalui dua bentuk; langsung dari Allah Swt dan melalui perantara malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi saw memperoleh pengalaman pewahyuan itu dari Tuhan secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah SWT. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui perantara dan dalam keadaan terjaga. Wahyu model ini, menurut ulama Islam, terjadi pada Nabi Muhammad saw di malam isra’-mi’raj.
Contoh wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua (ira dan memperoleh wahyu Al-Qur'an yang pertama kali. Dalam pengalaman sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman sufistik ini dapat dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan Muhammad saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya "membaca" (untuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al-Qur'an adalah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun sampai meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan beliau sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun dari atas. Nabi Muhammad saw pernah berkata,
“Aku tidak pernah menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku karena ia sedang dihilangkan dariku”.
d. Pengalaman Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu adalah perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat sampai mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT, yang digambarkan sebagai lingkungan "berjarak dua busur panah". Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan mengatakan "Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad saw yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama. "Malam kenaikan" disejawatkan dengan "malam kekuasaan", karena Al-Qur'an juga diwahyukan pada bagian penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isra’ mi’raj itu, secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad saw oleh Allah untuk mushâhadah dengan-Nya. Bagi para sufi, pengalaman itu merupakan pengalaman mistik paling agung dari Nabi Muhammad saw.
Baca juga: Pengertian Tasawuf dan Pengertian Sufi👈
2. Pengalaman Sufi Sahabat
a. Abu Bakar Ash ShiddiqAbu Bakar r.a adalah salah seorang ahli surga, Nabi sendiri pernah memberi berita gembira kepada beliau tentang kedudukan beliau di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa beliau akan menjadi ketua kepada satu kumpulan ahli syurga. Semua pintu surga akan menyeru dan memanggil nama beliau.
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakar, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama masalah hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang deras mengalir.
Rabi'ah Aslami r.a menceritakan, "Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya dengan Hazrat Abu Bakar r.a kerana sesuatu perkara. Beliau telah mengatakan sesuatu yang kasar terhadap saya yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari keadaan itu dan berkata kepada saya, "Engkau pun katakanlah perkataan itu kepada saya supaya menjadi balasan terhadap saya.
Demikian itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah. Beliau begitu risau dan mengambil berat tentang satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya beliau sendiri yang meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan Rasulullah s.a.w, beliau ingin supaya Rabi'ah r.a mengambil tindakan balas.
b. Umar Bin Khattab
Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. "Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang ia lakukan dengan harta tersebut," begitu perintah Umar kepadanya.
Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar sampai di rumah Abu Ubadah, ia berkata, "Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan beliau juga berpesan kepada Anda, 'Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki'."
Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat.” Kemudian ia berdiri dan memanggil hamba sahaya wanitanya. “Kemarilah. Bantu aku membagi-bagikan harta ini!.” Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, sampai seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham seraya berkata, “Berikan harta ini kepada Mua" bin Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Mua" dengan harta itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Mua" bin Jabal dan berhenti sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Mua" terhadap harta tersebut.
Mua" memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah, bantu aku membagi-bagikan harta ini!” Lalu Mua" pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin hingga harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Mua" melihat dari dalam rumah, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga miskin.” Mua" berkata, “Ambillah dua dirham saja.”
Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, lalu berkata, “Pergilah ke tempat Saad bin Abi Waqqash!” Ternyata Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua sahabat sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
c. Utsman Bin Affan
Dalam kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang lakilaki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu.” Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan setelah Rasulullah saw wafat?” Utsman menjawab, “Tidak, ini adalah ϔirasat seorang mukmin.” Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj-ul Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti Utsman bin Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. )ni adalah maqam paling tinggi di antara maqammaqam lainnya.
d. Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.”
Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.
0 Response to "Teladan / Pengalaman Sufi Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat"
Posting Komentar