Jenis-Jenis Dongeng dan Contoh Dongeng (Fabel, Legenda, Mite, Sage)
Dongeng merupakan salah satu jenis karya sastra lama yang disebarluaskan dari mulut ke mulut. Beberapa jenis dongeng, antara lain:
1. Fabel, yaitu dongeng berisi cerita dengan tokoh binatang yang berperilaku seperti manusia, misalnya Kancil dan Siput, Katak Hendak Jadi Lembu, dan sebagainya.
2. Legenda, yaitu cerita tentang asal mula terjadinya suatu tempat, misalnya Rawapening, Banyuwangi, Batu Belah Batu Betangkup, dan sebagainya.
3. Mite, yaitu cerita tentang makhluk halus atau dewa-dewa dan erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat, misalnya Nyai Rara Kidul.
4. Sage, yaitu cerita tentang kepahlawanan, misalnya Ramayana, Hang Tuah, dan sebagainya.
1. Fabel, yaitu dongeng berisi cerita dengan tokoh binatang yang berperilaku seperti manusia, misalnya Kancil dan Siput, Katak Hendak Jadi Lembu, dan sebagainya.
2. Legenda, yaitu cerita tentang asal mula terjadinya suatu tempat, misalnya Rawapening, Banyuwangi, Batu Belah Batu Betangkup, dan sebagainya.
3. Mite, yaitu cerita tentang makhluk halus atau dewa-dewa dan erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat, misalnya Nyai Rara Kidul.
4. Sage, yaitu cerita tentang kepahlawanan, misalnya Ramayana, Hang Tuah, dan sebagainya.
Contoh Dongeng 1
Grendi dan Pohon Pir yang Baik
Oleh: Hadi Pranoto
Dahulu kala, ada seorang anak lelaki kecil yang suka bermain di bawah pohon pir besar. Anak itu bernama Grendi. Hampir setiap hari, ia memanjat pohon pir dan naik sampai ke ujung batangnya. Lalu memakan buahnya dan tidur-tiduran di bawah pohon pir yang rindang. Grendi sangat sayang pada pohon pir itu. Demikian pula pohon pir, juga sangat sayang pada Grendi.
Dahulu kala, ada seorang anak lelaki kecil yang suka bermain di bawah pohon pir besar. Anak itu bernama Grendi. Hampir setiap hari, ia memanjat pohon pir dan naik sampai ke ujung batangnya. Lalu memakan buahnya dan tidur-tiduran di bawah pohon pir yang rindang. Grendi sangat sayang pada pohon pir itu. Demikian pula pohon pir, juga sangat sayang pada Grendi.
Waktu terus berlalu. Grendi kini semakin besar. Ia tidak lagi bermain dengan pihon pir sahabatnya. Pohon pir itu sangat sedih. Namun, dengan setia pohon itu terus menunggu kedatangan Grendi. Sampai suatu hari, dengan wajah sedih dan murung Grendi mendatangi pohon pir itu lagi.
"Jangan sedih. Ayo bermain bersamaku," pinta pohon pir.
"Aku bukan anak kecil lagi. Sudah tidak pantas lagi memanjat pohon," jawab Grendi. "Aku ingin membeli mainan seperti punya teman-temanku, tapi aku tak punya uang untuk membelinya," pohon pir ikut merasa sedih. "Aku pun tak punya uang untuk membantumu. Tetapi kau boleh memetik semua buah pirku dan menjualnya ke pasar. Kau bisa membeli mainan dengan uang itu," kata pohon pir.
Grendi sangat senang mendengarkannya. Ia segera memanjat pohon pir dan mulai memetiki buah-buahnya. Buah-buah pir itu dijualnya dan uangnya ia belikan mainan.
Akan tetapi, setelah memiliki mainan, Grendi pun asyik bermain dengan teman-temannya. Ia kembali lupa mengunjungi pohon pir sahabatnya. Pohon pir itu kembali merasa sedih dan kesepian.
Setelah bertahun-tahun, Grendi mulai dewasa. Ia kembali mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu sangat gembira saat melihat Grendi datang.
"Ayo bermain-main kembali bersamaku," kata pohon pir itu.
"Aku tak punya waktu" jawab Grendi. "Aku harus mengurus dan menghidupi keluargaku. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" tanya Grendi memohon.
"Oh…, sayang sekali aku pun tak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan ranting-rantingku untuk membuat rumah untuk keluargamu," jawab pohon pir.
Dengan gembira Grendi menebang semua dahan dan ranting pohon itu sampai pohon itu kelihatan gundul. Meskipun begitu, pohon pir itu sangat senang karena bisa membantu Grendi. Setelah itu, Grendi tidak pernah lagi mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu kembali sedih dan kesepian.
Pada suatu musim panas, kembali Grendi mendatangi pohon pir. Pohon pir dengan sukacita menyambut kedatangan Grendi.
"Ayo bermain bersamaku," pintanya.
"Aku sedih. Aku sudah tua. Aku ingin hidup tenang dan menikmati hidup," jawab Grendi dengan lesu.
"Lalu…? Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya pohon pir itu.
"Aku ingin bisa berlibur dan berlayar ke tempat lain. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk berlayar?" tanya Grendi.
"Aduh …Maaf. Aku tak punya kapal untuk kuberikan padamu. Tapi kau boleh memotong tubuhku dan memakainya untuk membuat kapal yang kau inginkan," jawab pohon pir.
"Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah," sambungnya lagi. Grendi kemudian menebang batang pohon pir itu dan membuat kapal. Ia segera pergi berlayar ke tempat yang diinginkannya dan tidak pernah mengunjungi pohon pir itu lagi.
Akhirnya setelah bertahun-tahun, Grendi kembali mengunjungi pohon pir.
"Maaf Anakku," kata pohon pir.
"Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu."
"Tidak apa-apa. Aku pun sudah tidak punya gigi untuk menggigit buahmu," jawab Grendi.
"Aku juga sudah tidak punya batang dan dahan lagi untuk kau panjat," kata pohon pir.
"Aku pun sudah terlalu lemah untuk memanjat pohon," jawab Grendi.
"Aku benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Yang tersisa hanya tinggal akar-akarku yang sudah tua dan sekarat," kata pohon pir itu sambil meneteskan air mata.
"Aku pun sudah tidak memerlukan apa-apa lagi dalam hidupku. Aku hanya memerlukan tempat beristirahat di masa tuaku. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu," jawab Grendi.
"Oohh…, bagus sekali. Tahukah Anakku, akar-akar pohon yang tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akarakarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Grendi pun beristirahat dan merebahkan tubuhnya di akar-akar pohon pir tua itu. Pohon pir itu sangat senang sekali dan tersenyum sambil tiada hentinya menitikkan air mata. Pohon itu bagaikan orang tuanya yang bersedia memberikan apa pun yang mereka miliki untuk kebahagiaan anak-anaknya.
"Jangan sedih. Ayo bermain bersamaku," pinta pohon pir.
"Aku bukan anak kecil lagi. Sudah tidak pantas lagi memanjat pohon," jawab Grendi. "Aku ingin membeli mainan seperti punya teman-temanku, tapi aku tak punya uang untuk membelinya," pohon pir ikut merasa sedih. "Aku pun tak punya uang untuk membantumu. Tetapi kau boleh memetik semua buah pirku dan menjualnya ke pasar. Kau bisa membeli mainan dengan uang itu," kata pohon pir.
Grendi sangat senang mendengarkannya. Ia segera memanjat pohon pir dan mulai memetiki buah-buahnya. Buah-buah pir itu dijualnya dan uangnya ia belikan mainan.
Akan tetapi, setelah memiliki mainan, Grendi pun asyik bermain dengan teman-temannya. Ia kembali lupa mengunjungi pohon pir sahabatnya. Pohon pir itu kembali merasa sedih dan kesepian.
Setelah bertahun-tahun, Grendi mulai dewasa. Ia kembali mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu sangat gembira saat melihat Grendi datang.
"Ayo bermain-main kembali bersamaku," kata pohon pir itu.
"Aku tak punya waktu" jawab Grendi. "Aku harus mengurus dan menghidupi keluargaku. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" tanya Grendi memohon.
"Oh…, sayang sekali aku pun tak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan ranting-rantingku untuk membuat rumah untuk keluargamu," jawab pohon pir.
Dengan gembira Grendi menebang semua dahan dan ranting pohon itu sampai pohon itu kelihatan gundul. Meskipun begitu, pohon pir itu sangat senang karena bisa membantu Grendi. Setelah itu, Grendi tidak pernah lagi mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu kembali sedih dan kesepian.
Pada suatu musim panas, kembali Grendi mendatangi pohon pir. Pohon pir dengan sukacita menyambut kedatangan Grendi.
"Ayo bermain bersamaku," pintanya.
"Aku sedih. Aku sudah tua. Aku ingin hidup tenang dan menikmati hidup," jawab Grendi dengan lesu.
"Lalu…? Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya pohon pir itu.
"Aku ingin bisa berlibur dan berlayar ke tempat lain. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk berlayar?" tanya Grendi.
"Aduh …Maaf. Aku tak punya kapal untuk kuberikan padamu. Tapi kau boleh memotong tubuhku dan memakainya untuk membuat kapal yang kau inginkan," jawab pohon pir.
"Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah," sambungnya lagi. Grendi kemudian menebang batang pohon pir itu dan membuat kapal. Ia segera pergi berlayar ke tempat yang diinginkannya dan tidak pernah mengunjungi pohon pir itu lagi.
Akhirnya setelah bertahun-tahun, Grendi kembali mengunjungi pohon pir.
"Maaf Anakku," kata pohon pir.
"Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu."
"Tidak apa-apa. Aku pun sudah tidak punya gigi untuk menggigit buahmu," jawab Grendi.
"Aku juga sudah tidak punya batang dan dahan lagi untuk kau panjat," kata pohon pir.
"Aku pun sudah terlalu lemah untuk memanjat pohon," jawab Grendi.
"Aku benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Yang tersisa hanya tinggal akar-akarku yang sudah tua dan sekarat," kata pohon pir itu sambil meneteskan air mata.
"Aku pun sudah tidak memerlukan apa-apa lagi dalam hidupku. Aku hanya memerlukan tempat beristirahat di masa tuaku. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu," jawab Grendi.
"Oohh…, bagus sekali. Tahukah Anakku, akar-akar pohon yang tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akarakarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Grendi pun beristirahat dan merebahkan tubuhnya di akar-akar pohon pir tua itu. Pohon pir itu sangat senang sekali dan tersenyum sambil tiada hentinya menitikkan air mata. Pohon itu bagaikan orang tuanya yang bersedia memberikan apa pun yang mereka miliki untuk kebahagiaan anak-anaknya.
Sumber: Bobo, 17 Juni 2004
Contoh Dongeng 2
Rumah Cangkang dan Sayap Pelangi
Oleh: Laila Fitroh
Di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, berteduh seekor kurakura. Ia tampak sedih. Air matanya menetes membasahi pipinya yang mungil dan putih. Ia tak sanggup mengusap air matanya karena keempat kakinya yang pendek tak kuasa menyentuh kepalanya.
"Kenapa kamu menangis, Ra?" tanya seekor kupu-kupu yang kebetulan melintas. Sayap kupu-kupu itu sangat indah. Semua warna pelangi ada padanya. Dia biasa dipanggil Furi.
"Furi, aku bosan jadi kura-kura. Lihat jalanku makin lama makin lambat karena aku harus menggendong cangkang ini ke mana pun aku pergi. Huh! Berat sekali rasanya. Aku capek. Andai aku kupu-kupu sepertimu pasti menyenangkan. Aku bisa terbang ke mana pun aku suka. Tubuhmu begitu ringan dan sayapmu begitu cantik. Hu…hu…hu…," Rara menangis.
"Aku iri padamu Furi. Aku iri sekali. Hu-hu-hu," Rara menangis lagi.
"O,jadi itu yang membuatmu menangis. Sekarang diamlah, Ra. Aku akan menghiburmu dengan tarian kupu-kupuku. Diam ya?” hibur Furi yang kemudian mulai menari. Sayap-sayap indah pelanginya dikepak-kepakkan.
Tubuh jingganya meliuk-liuk. Sejenak ia mengambang di udara, lalu menari berputar dan hinggap di kelopak mawar. Alangkah indahnya tarian Furi. Anehnya, tangis Rara semakin kencang. Furi menjadi heran dan bingung melihat tingkah Rara.
"Lho, dihibur, kok, malah keras nangisnya. Diamlah Rara! Bergembiralah. Tra-la-la! Mari menyanyi!"
"Hu…hu…hu melihat tarianmu itu aku semakin iri. Hu…hu…hu…andai aku kupu-kupu sepertimu, aku pasti bisa menari sepertimu. Hu…hu…hu…"
"Dasar cengeng! Diamlah, Rara! Kamu kan sudah besar! Apa kamu tidak malu merengek-rengek seperti itu? Sudah besar, kok, nangis. Harusnya kamu malu!" Terdengar sebuah suara. Furi dan Rara kaget. Ia tidak melihat siapasiapa selain mereka berdua, tapi suara itu bukan suara Rara maupun Furi.
Rara menengok ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Rara memutar badan, menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
"Hei, perlihatkan dirimu, siapa kamu?" tanya Furi.
"Aku di sini Furi. Aku di atas cangkang Rara. Masak sih kamu tidak lihat?" ternyata dia seekor bunglon yang biasa dipanggil Pilon. Pantas dia tidak kelihatan. Ia memang bisa mengubah warna kulit tubuhnya sesuai tempat yang dihinggapi. Kini Furi bisa melihat keberadaan si Bunglon.
"Rara, aku kasih tau ya, semua makhluk di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kamu jangan iri pada kelebihan yang dimiliki Furi. Lebih baik kamu mencari tahu apa kelebihanmu. Pasti ada," kata Pilon.
"Pilon, kamu bisa bilang begittu karena kamu bukan kura-kura sepertiku. Coba bayangkan jika ke mana-mana kamu harus menyeret cangkang seberat ini. Kamu pasti akan menderita sepertiku. Kamu pasti akan menangis. Hu…hu…hu…!"
"Tapi kamu juga mempunyai banyak kelebihan kan? Kamu bisa menyelam ke dalam air. Apa itu tidak menyenangkan? Kamu bisa melihat keindahan pemandangan di dalam air, sedangkan Furi atau aku hanya bisa melihat keindahan alam di darat saja!" Setelah berkata demikian, Pilon meloncat dari atas cangkang Rara menuju ke sebuah batu yang terletak persis di depan mata Rara. Sekujur badan Pilon serta merta berwarna hitam sehitam batu kali di depan Rara. Rara masih menangis tersedu-sedu. Hingga terdengarlah suara petir menggelegar. Bunyi petir itu mengalahkan suara tangis Rara. Langit mendung, gelap, matahari tertutup awan pekat. Lalu tampak cahaya kilat di angkasa yang disertai tiupan angin kencang. Furi goyah diterpa angin. Ia berusaha tapi angin semakin kencang. Bahkan kelopak mawar, tempat Furi hinggap, lepas terbawa angin. Furi terseret angin. Ia tak ubahnya selembar bulu yang tertiup angin kencang.
"Tolong aku! Tolong aku! Tolooong!" Meski Furi telah berteriak-teriak minta tolong, Pilon dan Rara tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melihat Furi terbawa angin. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Udara terasa sangat dingin. Rara menyembunyikan kepala, keempat kaki,dan ekornya ke dalam cangkangnya. Kini, Rara sangat hangat. Sementara Pilon menggigil kedinginan.
Dalam cangkangnya Rara teringat pada apa yang dikatakan Pilon bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihan masingmasing. Rara membayangkan seandainya dia seekor kupu-kupu seperti Furi.
Wah, kini pasti sudah kehujanan, basah kuyup. Sayap-sayapnya yang cantik jadi sulit digerakan. Setelah berpikir demikian, Rara sadar. Tak ada gunannya iri pada kelebihan yang dimiliki Furi.
Hujan berangsur-angsur reda. Perlahan-lahan sinar matahari datang. Rara menggeliat. Oah! Betapa enaknya jadi kura-kura. Rara menggeliat lagi. Oah! Lalu kepalanya keluar dari cangkang dan melihat ke atas. Wah, ada bianglala, pelangi yang indah, bagaikan sayap kupu-kupu raksasa. Cantik!
"Pilon, lihat ke atas! Ada pelangi, tuh," teriak Rara.
"Ya, aku tahu," jawab Pilon sambil mengibas-kibaskan kepalanya yang basah. Tubuh dan ekornya bergetar. Pilon masih kedinginan.
"Eh,ngomong-ngomong, apa kamu masih ingin seperti Furi?" tanya Pilon. "Apa kamu masih iri pada sayap cantik Furi? Masih ingin bisa terbang? Masih bosan menjadi kura-kura?" lanjut Pilon.
Rara menggeleng lemah sembari tersenyum malu.
"Aku tidak iri lagi pada Furi, tapi aku tetap sedih karena kehilangan teman secantik Furi. Aku harap ia baik-baik saja," kata Rara lirih. Rara dan Pilon sama-sama terdiam. Lama sekali, sambil memandangi indahnya pelangi di atas cakrawala. Dalam diam mereka berdoa agar Furi tidak celaka dan bisa menikmati indahnya pelangi. Lalu terdengar teriakan dari kejauhan,"Aku datang! Aku datang! Aku datang!"
"Ah, Furi datang," Rara dan Pilon saling berpandangan. Furi tampak bugar dan berseri, seakan tak pernah sedih dan merasa sakit. Padahal ia tadi terembus angin kencang. Kini, Furi datang bersama teman-temannya. Banyak sekali.
Semuanya bersayap seindah pelangi. Menari-nari di udara bebas. Udara terasa sejuk segar. Langit terang, Matahari mengintip di balik awan seolah memberi kesempatan pada bianglala untuk menampakkan diri lebih lama. Bianglala laksana kupu-kupu yang banyak. Terbang mengambang di sekeliling awan. Menjalin sebuah selendang bidadari yang melambai-lambai di udara bebas. Awan-awan tampak seperti kura-kura raksasa berwarna putih. Bergerak lambat mengiringi tarian kupu-kupu. Indah sekali.
Oleh: Laila Fitroh
Di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, berteduh seekor kurakura. Ia tampak sedih. Air matanya menetes membasahi pipinya yang mungil dan putih. Ia tak sanggup mengusap air matanya karena keempat kakinya yang pendek tak kuasa menyentuh kepalanya.
"Kenapa kamu menangis, Ra?" tanya seekor kupu-kupu yang kebetulan melintas. Sayap kupu-kupu itu sangat indah. Semua warna pelangi ada padanya. Dia biasa dipanggil Furi.
"Furi, aku bosan jadi kura-kura. Lihat jalanku makin lama makin lambat karena aku harus menggendong cangkang ini ke mana pun aku pergi. Huh! Berat sekali rasanya. Aku capek. Andai aku kupu-kupu sepertimu pasti menyenangkan. Aku bisa terbang ke mana pun aku suka. Tubuhmu begitu ringan dan sayapmu begitu cantik. Hu…hu…hu…," Rara menangis.
"Aku iri padamu Furi. Aku iri sekali. Hu-hu-hu," Rara menangis lagi.
"O,jadi itu yang membuatmu menangis. Sekarang diamlah, Ra. Aku akan menghiburmu dengan tarian kupu-kupuku. Diam ya?” hibur Furi yang kemudian mulai menari. Sayap-sayap indah pelanginya dikepak-kepakkan.
Tubuh jingganya meliuk-liuk. Sejenak ia mengambang di udara, lalu menari berputar dan hinggap di kelopak mawar. Alangkah indahnya tarian Furi. Anehnya, tangis Rara semakin kencang. Furi menjadi heran dan bingung melihat tingkah Rara.
"Lho, dihibur, kok, malah keras nangisnya. Diamlah Rara! Bergembiralah. Tra-la-la! Mari menyanyi!"
"Hu…hu…hu melihat tarianmu itu aku semakin iri. Hu…hu…hu…andai aku kupu-kupu sepertimu, aku pasti bisa menari sepertimu. Hu…hu…hu…"
"Dasar cengeng! Diamlah, Rara! Kamu kan sudah besar! Apa kamu tidak malu merengek-rengek seperti itu? Sudah besar, kok, nangis. Harusnya kamu malu!" Terdengar sebuah suara. Furi dan Rara kaget. Ia tidak melihat siapasiapa selain mereka berdua, tapi suara itu bukan suara Rara maupun Furi.
Rara menengok ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Rara memutar badan, menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
"Hei, perlihatkan dirimu, siapa kamu?" tanya Furi.
"Aku di sini Furi. Aku di atas cangkang Rara. Masak sih kamu tidak lihat?" ternyata dia seekor bunglon yang biasa dipanggil Pilon. Pantas dia tidak kelihatan. Ia memang bisa mengubah warna kulit tubuhnya sesuai tempat yang dihinggapi. Kini Furi bisa melihat keberadaan si Bunglon.
"Rara, aku kasih tau ya, semua makhluk di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kamu jangan iri pada kelebihan yang dimiliki Furi. Lebih baik kamu mencari tahu apa kelebihanmu. Pasti ada," kata Pilon.
"Pilon, kamu bisa bilang begittu karena kamu bukan kura-kura sepertiku. Coba bayangkan jika ke mana-mana kamu harus menyeret cangkang seberat ini. Kamu pasti akan menderita sepertiku. Kamu pasti akan menangis. Hu…hu…hu…!"
"Tapi kamu juga mempunyai banyak kelebihan kan? Kamu bisa menyelam ke dalam air. Apa itu tidak menyenangkan? Kamu bisa melihat keindahan pemandangan di dalam air, sedangkan Furi atau aku hanya bisa melihat keindahan alam di darat saja!" Setelah berkata demikian, Pilon meloncat dari atas cangkang Rara menuju ke sebuah batu yang terletak persis di depan mata Rara. Sekujur badan Pilon serta merta berwarna hitam sehitam batu kali di depan Rara. Rara masih menangis tersedu-sedu. Hingga terdengarlah suara petir menggelegar. Bunyi petir itu mengalahkan suara tangis Rara. Langit mendung, gelap, matahari tertutup awan pekat. Lalu tampak cahaya kilat di angkasa yang disertai tiupan angin kencang. Furi goyah diterpa angin. Ia berusaha tapi angin semakin kencang. Bahkan kelopak mawar, tempat Furi hinggap, lepas terbawa angin. Furi terseret angin. Ia tak ubahnya selembar bulu yang tertiup angin kencang.
"Tolong aku! Tolong aku! Tolooong!" Meski Furi telah berteriak-teriak minta tolong, Pilon dan Rara tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melihat Furi terbawa angin. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Udara terasa sangat dingin. Rara menyembunyikan kepala, keempat kaki,dan ekornya ke dalam cangkangnya. Kini, Rara sangat hangat. Sementara Pilon menggigil kedinginan.
Dalam cangkangnya Rara teringat pada apa yang dikatakan Pilon bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihan masingmasing. Rara membayangkan seandainya dia seekor kupu-kupu seperti Furi.
Wah, kini pasti sudah kehujanan, basah kuyup. Sayap-sayapnya yang cantik jadi sulit digerakan. Setelah berpikir demikian, Rara sadar. Tak ada gunannya iri pada kelebihan yang dimiliki Furi.
Hujan berangsur-angsur reda. Perlahan-lahan sinar matahari datang. Rara menggeliat. Oah! Betapa enaknya jadi kura-kura. Rara menggeliat lagi. Oah! Lalu kepalanya keluar dari cangkang dan melihat ke atas. Wah, ada bianglala, pelangi yang indah, bagaikan sayap kupu-kupu raksasa. Cantik!
"Pilon, lihat ke atas! Ada pelangi, tuh," teriak Rara.
"Ya, aku tahu," jawab Pilon sambil mengibas-kibaskan kepalanya yang basah. Tubuh dan ekornya bergetar. Pilon masih kedinginan.
"Eh,ngomong-ngomong, apa kamu masih ingin seperti Furi?" tanya Pilon. "Apa kamu masih iri pada sayap cantik Furi? Masih ingin bisa terbang? Masih bosan menjadi kura-kura?" lanjut Pilon.
Rara menggeleng lemah sembari tersenyum malu.
"Aku tidak iri lagi pada Furi, tapi aku tetap sedih karena kehilangan teman secantik Furi. Aku harap ia baik-baik saja," kata Rara lirih. Rara dan Pilon sama-sama terdiam. Lama sekali, sambil memandangi indahnya pelangi di atas cakrawala. Dalam diam mereka berdoa agar Furi tidak celaka dan bisa menikmati indahnya pelangi. Lalu terdengar teriakan dari kejauhan,"Aku datang! Aku datang! Aku datang!"
"Ah, Furi datang," Rara dan Pilon saling berpandangan. Furi tampak bugar dan berseri, seakan tak pernah sedih dan merasa sakit. Padahal ia tadi terembus angin kencang. Kini, Furi datang bersama teman-temannya. Banyak sekali.
Semuanya bersayap seindah pelangi. Menari-nari di udara bebas. Udara terasa sejuk segar. Langit terang, Matahari mengintip di balik awan seolah memberi kesempatan pada bianglala untuk menampakkan diri lebih lama. Bianglala laksana kupu-kupu yang banyak. Terbang mengambang di sekeliling awan. Menjalin sebuah selendang bidadari yang melambai-lambai di udara bebas. Awan-awan tampak seperti kura-kura raksasa berwarna putih. Bergerak lambat mengiringi tarian kupu-kupu. Indah sekali.
Sumber: Yunior, 5 Agustus 2007
0 Response to "Jenis-Jenis Dongeng dan Contoh Dongeng (Fabel, Legenda, Mite, Sage)"
Posting Komentar